JAKARTA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB University menekankan pentingnya identifikasi dampak lingkungan bagi setiap pelaku usaha kuliner di lokasi usahanya masing-masing.
Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengungkapkan bahwa setiap kegiatan usaha kuliner, terlepas dari skala operasinya, berpotensi menimbulkan dampak lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa limbah cair, sampah makanan, hingga polusi udara.
"Oleh karena itu, identifikasi dampak lingkungan menjadi langkah krusial yang harus dilakukan setiap pelaku usaha agar pengendalian dapat dilakukan sejak dini," jelas Asep. "Dengan pemahaman dan langkah yang tepat, usaha kuliner tidak hanya dapat produktif secara ekonomi, tetapi juga turut menjaga kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat."
Perekayasa Ahli Muda BRIN, Reba Anindyajati Pratama, menyoroti pentingnya identifikasi dan pengendalian dampak lingkungan yang sering terabaikan, seperti kebisingan dan getaran dari aktivitas produksi. Menurut Reba, sumber kebisingan utama biasanya terletak di area dapur, seperti dari penggunaan mixer atau blender.
"Solusi sederhana yang dapat diterapkan antara lain melapisi plafon dan dinding dengan bahan peredam, menggunakan karet peredam di bawah peralatan, serta memakai sarung tangan karet untuk mengurangi getaran," ujar Reba.
Sementara untuk area front house yang menampilkan hiburan musik, Reba menyarankan untuk melapisi interior ruangan dengan material peredam seperti rockwool, menggunakan pembatas ruangan, membatasi penggunaan alat musik pada jenis akustik, serta mengatur jam pertunjukan musik.
"Upaya pengendalian kebisingan ini tidak hanya bermanfaat bagi tempat usaha, tetapi juga dapat diterapkan di rumah untuk menciptakan kenyamanan bersama," tambahnya.
Peneliti PPLH IPB, Setyo P. Nugroho, menambahkan bahwa setelah mengidentifikasi dampak lingkungan, pelaku usaha harus menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan dalam dokumen Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL).
"Dokumen SPPL tidak boleh hanya dipandang sebagai formalitas administratif, melainkan harus menjadi panduan operasional yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari," tegas Setyo.
“Dengan pendekatan ini, usaha kuliner tidak hanya menjadi lebih berkelanjutan, tetapi juga dapat meningkatkan citra dan daya saing di mata konsumen yang semakin peduli terhadap lingkungan."
Melalui kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan pelaku usaha, diharapkan dapat tercipta ekosistem bisnis kuliner yang tidak hanya profitable tetapi juga responsible terhadap lingkungan.