Sampah menjadi tantangan besar bagi kota-kota seperti DKI Jakarta, yang menghadapi peningkatan timbulan sampah seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas harian. Di tengah mandat pengelolaan sampah yang telah diatur dalam UU No. 18/2008 dan Perda DKI Jakarta No. 3/2013, pemerintah daerah mendorong kemitraan dengan masyarakat, dunia usaha, dan berbagaipemangku kepentingan lainnya. Melalui program Kolaborasi Sosial Berskala Besar Lingkungan, pendekatan kolaboratif diperkenalkan untuk membuka ruang keterlibatan lebih luas bagi multipihak dalam pengelolaan lingkungan. Salah satu fokus utamanya adalah Klaster Persampahan, yang menghimpun kontribusi, dukungan, dan inisiatif bersama untuk memperkuat upaya pengurangan dan penanganan sampah.
Tulisan ini menyoroti bagaimana partisipasi multipihak dalam Kolaborasi Sosial Berskala Besar atau yang biasa disebut KSBB Lingkungan Klaster Persampahan berperan penting dalam memperkuat pengelolaan sampah di Jakarta.
Apa Itu KSBB Klaster Persampahan?
Sejak dibentuk pada September 2022, KSBB kluster Persampahan tumbuh sebagai ruang pertemuan lintas sektor yang mempertemukan pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, NGO, hingga start up. Indah Alvernia Aruan selaku Project Manager forum dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, menuturkan gelombang kolaborasi di Jakarta saat ini memang besar, tetapi prosesnya belum sepenuhnya ideal.
“Tantangan masih banyak. Beberapa bantuan yang diberikan mitra belum sesuai kebutuhan, sehingga belum bisa dimanfaatkan dengan baik di tingkat warga,” ujarnya.
Temuan itu menjadi salah satu contoh persoalan lapangan yang harus dihadapi KSBB di tengah tingginya minat untuk berkolaborasi.
Selama 2,5 tahun berjalan, forum ini telah menghimpun 629 bantuan dengan nilai setara Rp 21,37 miliar. Seluruh bantuan tersebut disalurkan langsung kepada warga Capaian itu menunjukkan bahwa kemauan untuk terlibat dalam isu persampahan sangat besar. Namun dibalik antusiasme tersebut, KSBB kluster persampahan menghadapi persoalan khas forum yang besar dan berlapis. Pergantian perwakilan institusi membuat kesinambungan agenda sering terhenti. Diskusi yang semula mengalir penuh semangat di satu pertemuan, kerap kehilangan tindak lanjut yang jelas di pertemuan berikutnya. Indah menjelaskan bahwa sebagian mitra sudah menunjukkan komitmen kuat, tetapi sebagian lainnya masih menunggu arahan atau belum menemukan perannya secara tepat.
“Ada yang sangat aktif, ada yang masih mencari bentuk. Tantangannya adalah bagaimana menyatukan ritme itu,” katanya.
Hal ini semakin diperumit oleh ketidak konsistenan kehadiran anggota, sehingga banyak pembahasan dan isu yang harus diulang kembali. Akibatnya, progres dan langkah yang diambil para anggota maupun forum secara keseluruhan belum dapat berjalan secara signifikan. Meski begitu, KSBB tetap menjadi ruang penting yang membuka pintu bagi banyak aktor untuk berkolaborasi. Indah menilai forum ini punya potensi besar, asal didukung mekanisme kerja yang lebih jelas dan konsisten.
“Kolaborasi itu perlu dirawat. Tidak cukup hanya bertemu, tapi harus ada tindak lanjut yang terukur,” ujarnya.
Untuk dapat melampaui berbagai tantangan tersebut, KSBB kluster persampahan membutuhkan pendekatan yang lebih tertata seperti dialog yang lebih terarah, peran yang lebih jelas, serta jembatan yang mampu menghubungkan diskusi dengan aksi bersama yang dapat dilihat dan diukur.
Pentingnya Komunikasi Partisipatif
Untuk memahami perkembangan KSBB, teori Participatory Communication dari Thomas Tufte dan Paolo Mefalopulos memberikan kacamata yang relevan. Teori ini menekankan bahwa program pembangunan hanya dapat berhasil jika masyarakat dilibatkan sebagai subjek, bukan objek. Partisipasi diwujudkan melalui dialog yang setara, pengambilan keputusan bersama, dan alur komunikasi yang berkelanjutan. Tufte melihat komunikasi sebagai alat penguatan voice dan agency, sementara Mefalopulos menekankan pentingnya Communication Program Cycle, yang mencakup assessment, perancangan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi. Siklus ini menjadi dasar agar program tidak berhenti pada diskusi, tetapi terus berkembang melalui pembelajaran. Jika dibandingkan dengan perjalanan KSBB, forum ini sudah memiliki elemen partisipatif seperti ruang diskusi dan keterlibatan multisektor namun belum sepenuhnya menjalankan siklus program secara utuh.
Minimnya indikator keberhasilan, belum adanya target bersama, dan kurangnya tindak lanjut pasca pertemuan merupakan indikasi bahwa siklus evaluasi belum dilakukan secara mendalam. Di sinilah teori Tufte–Mefalopulos memberikan arah bahwa kolaborasi membutuhkan desain bersama yang terukur dan mekanisme evaluasi berkala agar dapat tumbuh ke tahap yang lebih matang. Kebutuhan ini menjadi momentum penting bagi KSBB untuk bertransformasi dari ruang diskusi menjadi ruang aksi.
Lahirnya Pilot Project Pengelolaan Sampah Kolaboratif
Evaluasi terhadap perjalanan KSBB Persampahan selama dua tahun terakhir menunjukkan perlunya terobosan yang lebih konkret. Forum dinilai tidak cukup jika hanya menjadi ruang diskusi; diperlukan aksi bersama yang terstruktur, terukur, dan dapat dipantau hasilnya. Tahap evaluasi juga melahirkan masukan dari anggota bahwa forum membutuhkan pembaruan agenda yang terus disegarkan dan dikembangkan agar tetap relevan. Menjawab kebutuhan tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta merumuskan Pilot Project Pengelolaan Sampah Kolaboratif KSBB Persampahan, sebuah inisiatif
percontohan baru yang dirancang untuk mengubah kolaborasi menjadi aksi nyata di lapangan. Pilot Project Pengelolaan Sampah Kolaboratif KSBB Persampahan disiapkan sebagai model percontohan yang mengumpulkan berbagai pihak untuk merumuskan kebutuhan warga secara tepat. Melalui kolaborasi lintas sektor, proyek ini memastikan bantuan dan sarana yang diberikan sesuai kondisi lapangan, dengan indikator kinerja dan monitoring berkala untuk mengukur hasil.
Pilot Project Pengelolaan Sampah Kolaboratif KSBB Persampahan menjadi terobosan baru dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Program ini dilaksanakan di enam lokasi yang dipilih melalui proses assesment agar pelaksanaannya tepat sasaran, melibatkan warga sejak awal, dan dapat dipertanggungjawabkan.
RW 04 Pegangsaan Dua menjadi salah satu lokasi yang bergerak masif, dengan dukungan 10 mitra diantaranya Yayasan WWF Indonesia, PT Kawasan Berikat Nusantara, dan PT PLN Indonesia Power UBP Priok. Di wilayah ini, edukasi pemilahan dilakukan secara door to door, disertai pembagian tempat sampah mudah terurai dan kantong pilah untuk sampah daur ulang kepada warga.
Tahap awal program menargetkan 110 rumah dan akan diperluas seiring meningkatnya partisipasi warga. Sinergi para mitra dan keterlibatan aktif masyarakat diharapkan menjadi pijakan bagi pengurangan sampah dari sumber, serta model kolaborasi ini dapat diterapkan di wilayah lain di Jakarta.
Menuju Kolaborasi yang Lebih Berdampak
Langkah ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal infrastruktur atau kebijakan, tetapi proses sosial yang menempatkan masyarakat dan pemangku kepentingan sebagai mitra setara.
Dengan pendekatan komunikasi partisipatif, KSBB membuka peluang bagi Jakarta untuk membangun model pengelolaan sampah yang tidak hanya efektif, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan. Bila ekosistem ini terus diperkuat, Jakarta berpotensi menjadi contoh bagaimana kota besar dapat mengelola sampah melalui kolaborasi yang strategis dan berkelanjutan dari warga, oleh warga, untuk kota.
Penulis: Vena Velia Themba*)
*Penulis saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Padjajaran